NAGIH JANJI (MENAGIH JANJI)
Judul diatas adalah penggalan tembang campur sari Jawa yang berisi kisah sedih sebuah keluarga. Oleh karena alasan ekonomi, sang suami harus meninggalkan desa dan merantau mengadu nasib di kota besar. Di perantauan, sang suami berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan pulang sebelum bisa memuliakan (membahagiakan) isteri dan anak-anaknya yang ia tinggal di kampung yang penuh penderitaan.
Sekarang, hidup sang suami sudah mukti (sukses). Namun entah sudah berapa tahun ia tidak pernah pulang kampung. Karena itu sang kekasih (isteri tercinta) menagih janji… ia teringat ketika jaman hidup bersama dengan suaminya… hidup susah, sehari makan sekali tetapi dipenuhi kebahagiaan. Waktu itu, anak-anak masih kecil… sekarang anak-anak sudah besar.
Hati isteri semakin sedih, ketika anaknya bertanya: siapa bapakku? Sang mama tidak bisa menjelaskan–pertanyaan itu justru membawanya kepada kesedihan yang dalam–perasaan disia-siakan oleh suami yang sekarang sudah lupa dengan isteri yang merawat anak di kampung. Namun apa daya… sepertinya sang suami telah lupa… lupa samaku boleh; tetapi jangan pura-pura lupa dengan anak-anak kita.
Masyarakat Jawa proletar… dipenuhi kisah-kisah sedih bercampur harapan seperti itu. Kemiskinan, perpisahan, cinta dan harapan akan kebahagiaan selalu sulit dipisahkan… bersatu padu dalam tembang di dada setiap anak manusia. Relasi-relasi seperti orang tua-anak; suami-isteri berpaut menjadi satu nada kerinduan dan harapan yang tak terkatakan.
Namun penulis lagu cukup pintar… janji itu tak terlupakan; janji itu tersimpan dalam hati; janji itu tak termakan oleh waktu. Janji itu terpelihara dan tetap menyala… jika anak-anak bertanya kemana ayah kita…? Tolongalh beri jawab mereka… ayah merantau ke kota untuk membahagiakan keluarga kita.
Lagu tentang KESETIAAN… PENGHARAPAN dan CINTA KASIH. Setialah kepada janji–janji pernikahanmu yang engkau ucapkan di hadapan Allah dan umat-Nya.